masgeger

berhentilah mencari jati diri. jati dirimu adalah apa yang selalu kau dengarkan ketika tiada lagi yang berbicara

Selasa, 19 Juni 2007

Pasal 2 (Ayat ayat Etis : an alternative cultural Destiny)

Terminology “java” sudah menjadi istilah popular dalam percaturan dunia dan menjadi nyamikan genit dari merk kopi (java coffe) sampai dunia IT (java script) (?). Bahkan manusia java yang dianggap missing links dari “primata” ke manusia modern sudah maklum bagi siapapun.

Konon Zaman pertengahan, Nusantara lebih dikenal di belahan timur dunia sebagai java. Para peziarah Nusantara ke dunia timur selalu disebut sebagai Ulama Jawi hinggapun mereka berdatangan dari semenanjung Thailand dan Malaysia. Bahkan sampai hari ini masyarakat Thailand selatan menganggap dirinya berbahasa jawi walau sepenuhnya adalah bahasa Melayu dengan tulisan pegon Jawi. Tak kurang kitab Tuhfatul Mursalah ditulis sebagai ajwibah li as’ilati ulama jawi (Jawaban atas pertanyaan ulama ulama Jawa sekalipun merupakan problem yang sedang berkembang kala itu di Nangroe Aceh Darussalam).

Menjadikan Java sebagai ikon budaya bukan suatu hal yang “aeng aeng” justru sebaliknya menempatkan javanthropos kembali pada poros eksistensialnya kembali. Mentransformasikan nilai nilai lama budaya jawa kedalam takdir kebudayaanya yang baru dan meretas kembali jalan sejarah java kedepan.

Sebuah upaya kongkret perlu dilakukan untuk melakukan kritik cerdas kedalam dan menggali kembali kearifan masa lalu orang jawa. Membangun kembali orang java dari reruntuhannya membutuhkan jawaban dari setiap diri yang tinggal di negeri Ajisaka ini.Orang java harus memiliki keberanian sebab ini bukan dunia kalah menang tetapi perkara mamangun hayuning bawono membuat dunia semakin indah dan bernilai. Kebudayaan jawa ditengah terpaan globalisasi yang mendrive standardisasi budaya komersial dengan mesin kekuatan pasarnya harus kembali melakukan pemaknaan ulang identitas kulturalnya serta memberikan “grounded sense” bagi kejawaan baru.

Upaya sadar harus dilakukan untuk memberikan instrument penting bagi katalisasi proses tersebut menjadi aksi social yang wujud ngejawantah. Menggeser dari semua potensi ke aktus hingga mampu berbagi pengalaman sebagai warga dunia yang setara.Partisipasi kultural yang aktif yang berdasarkan prinsip kesetaran sebagai warga dunia dan tiadanya klaim antara yang superior dan stigma terhadap yang lain sebagai inferior.

Menumbuhkan kesetaraan untuk menghargai keragaman serta melindunginya adalah bagian penting dari sisi lain bio-diversity yang diakui deklarasi United Nation bulan November 2001. (Unesco Universal Declaration of Cultural Diversity) Article 1 Cultural Diversity :

The common Heritage of HumanityCulture takes diverse form across time and space This diversity is embodied in the uniqueness and plurality of the identities of the group and societies making up humandkind. As a source of exchange, innovation and creativity, cultural diversity is a necessary for humankind as a biodiversity is for nature. In this sense it is common heritage of humanity and should be recognized and affirmed for the benefit of present and future generations.


Manusia Java harus berani keluar dari kungkungan perangkap kematianya sendiri serta membebaskan dari jebakan globalisasi yang membunyikan watak hegemonistiknya. Globalisasi bahkan ditengarai Francois Fukuyama sebagai eufimisme atas amerikanisasi kebudayaan.

I think that it is, and that why some people do not like it. I think it has to be americanization because in some respect, America is the most andvanced capitalistsociety in the world today, and so its institutions represents the logical development of market forces, Therefore if market forces are what drives globalization, It is inevitable that Americanization will accompany globalization. (The end of History and the last man)


Menerima Java sebagai identitas kultural yang memperkaya Indonesia-Dunia menjadi penting dan merayakanya sebagai keharusan untuk memaknai kembali eksistensi subjek.

Lets Celebrate and feel free wityh a javanesse proud…….

JAVAHOLIC “A road to an Absolutely Java”

JAVAHOLIC “A road to an Absolutely Java”

an alternative cultural Destiny”Pasal 1 (Ayat ayat Estetis ; A road to an Absolutely Java

Kekuatan globalisasi dengan watak dasarnya yang massif, universal dan cepat –rapid- namun “kurang dialogis” , telah membawa perubahan besar kebudayaan abad 21. Fenomena complek yang sudah berlangsung lama, tetapi mengalami percepatan luar biasa pada 50 tahun terakhir yang memungkinkan aliran gagasan, barang, modal dan bahkan manusia, secara besar besaran dengan skala dan kecepatan yang melebihi dekade sebelumnya.

Kita harus mengakui sisi positif globalisasi mutaakhir dalam memberikan akses serta inovasi teknologi dalam seni serta media, sekaligus memutuskan keterbatasan geografis menjadi masyarakat yang dapat secara mudah berbagi pengalaman lintas benua. Namun disisi lain agenda globalisasi yang mendorong semangat inklusivitas jagad serta kesetaraan tersebut, masih harus dibebani watak lain dari kebudayaan modern yang mengarah pada hegemonisasi cultural oleh mainstream besar terhadap wilayah yang dianggap peripheral.

Globalisasi dapat berisikan ancaman alienasi terhadap mereka yang terus dimarginalkan.Semua bangsa tiba tiba harus berhadapan vis a vis dengan modernitas yang pikun, dan menimbulkan banyak pertanyaan dasar serta mendalam bagi tiap individu. Pertanyaan kepada identitas subjek ditengah 4 milyar penduduk dunia.

Apa makna kehadirannya ditengah budaya masyarakat dunia –baca- barat ?

Apakah Globalisasi yang menjadikan dunia sebagai desa-mayantara (global village) memang masih memberikan ruang bagi keragaman ?

Individu dihadang berbagai sodoran mesin peradaban yang menunutut keseragaman baru as a new world order. Penolakan bermunculan karena berbagai alasan bahkan menjadi sebuah gerakan “Against Globalization Movement”. Hal tersebut diikuti menguatnya tuntutan kepada dunia multi culture yang baru dan penyantun serta menggoda. Identitas kultural subjek merupakan pilar penting memasuki babak baru globalisasi menuju lokalisasi. Sebuah karsa kreatif yang serius kepada eksistensi subjek dan orbit kedirian budayanya ditengah lautan jagad serba seragam dan massal.


Saatnya manusia jawa juga menatap jangka jangkane jagad (baca : globalisasi) dan merenungi kembali takdir kulturalnya.
Pesan para pujangga klasik kembali mengingatkan kita pada situasi “wong jawa ilang jawane” dan diikuti revolusi kedalam “wong jawa bali marang asline”.. Energi kreatif manusia jawa sajalah yang dapat membantunya keluar dari nestapa dan terus mempertanyakan makna globalisasi serta titik singgungnya dengan budaya lokal. Apa sebenarnya “asline” orang java, dasar kearifan yang menjadikan subjek sebagai jawa.


Pertanyaan dasar yang bukan mengarah pada etnisitas yang mengacu pada geneologi biologis tetapi pada geneologi cultural dan membentuknya kembali dalam identitas kejawaan. Disinilah titik pijak baru untuk kita memulai “wang sinawang” (album Genk Kobra #2) sebagai subjek melihat dirinya dan menatap juntrung-nya kedepan.……………………..

Wang wang wang wang sawang sinawang Kaya dan miskin bukan jaminan
Wang wang wang wang sawang sinawang Benar dan salah bukan ukuran
Wang wang wang wang sawang sinwang Kalah dan menang keberanian
Wang wang wang wang sawang sinawang Musibah atau kesempatan………………..
(album Sithik Eding/ je. elysanto )


Menjadi jawa adalah “ngoyak praja” menghidupkan harkat kedirian (human dignity) bukan menghamba pada bondho (-kepalsuan modernitas-) menegaskan mantra ki lurah semar Bodronoyo “boyo siro harso mardi kamardikan hayuo samar sumingkiring dur kamurkan”.

Menjadi java adalah mengalahkan diri sendiri dari penyebab angkara murka lengkap dengan segala ketamakanya. Kearifan jawa sedang diuji ditengah terpaan modernitas dan globalisasi, semua ukuran sudah berubah yang tersisa adalah keberanian menatap realitas dan menerjamahkan selekas mungkin segala musibah dan membedakanya dari kesempatan palsu sebagai manusia ditengah terpaan zaman.

Hilangnya nilai nilai lama dan berbagai dorongan perubahan tak jarang membuat grusa grusu rusak tatanan dan ajur mumur negarane karena terpikat janji palsu tak terarah, hingga kehilangan pondasi budayanya menjadi ngetan ngulon tak perduli dan sesat di jalanan


Wolak waliking jaman saiki Akeh uwong edan dianggep kiai

Soyo edan, sing dho urip bengi Samsoyo mini jarene seni

Pancen aneh polahe menungso Akeh dalan padhang, pilih dalan pati

Donya nyoto dho wegah ngugemi Pilih dho mikir donya memedi.

Jaman wis akhir, jaman wis akhir bumine goyang

Jaman wis akhir, jaman wis akhir bumine goyang

Akale njungkir, akale njungkir Pikirane nglambrang

(Lagu Jaman Akhir album Sithik Eding/ je. elysanto)


Jaman wis akhir kini adalah titik awal dimana manusia jawa harus mengakhiri cara-cara lama yang telah melenceng dari nilai-nilai jawa sesungguhnya , dikarenakan gesekan arus globalisasi yang bermuara kepada krisis identitas. Kembali kepada nilai-nilai luhur sebuah budaya adiluhung.

Membangun kembali karsa budaya jawa bukan lagi sebagai aktivitas subversif bukan pula bicara kalah menang, ataupun salah benar sebaliknya menjadi suatu tuntutan Etis sebagi subjek mengekspresikan identitas dan memaknainya bagi kehidupan yang bermartabat dan bertujuan. Menangkap élan vitale manusia jawa dan menghadirkannya di tengah dunia kini menjadi tantangan kita bersama.